A.
Pengertian Mahkum Bih
Menurut ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum bih adalah
objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah
syari’at, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan maupun yang bersifat tuntutan
meninggalkan. Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada
objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut
ditetapkanlah suatu hukum, misalnya:
1.
وَأقِيْـممُوا الصَّلاَةَ . . . ( البـقـرة : 43 )
“Dirikanlah
sholat ...” (al-Baqarah : 43)
Ayat
ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan
sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
2.
وَلاَ تَـقْتُلُوْا النَّفْسَ التي حَرَّم الله اِلاّ بِالحَقّ . . .
( الأنعام : 151)
“Janganlah kamu membunh jiwa yang telah diharamkan
allah melainkan dengan seuatu (sebab) yang benar…” (al-An’am : 151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait
dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak,
maka membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.
3. اِذَا قُـمْتُـمْ اِلَي الصَّلوة فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُم وَاَيْـدِيْكُـمْ
اِلَي الْمَرَافِقِ . . . ( المائدة : 6 )
“Apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Dalam ayat ini dapat diketahui, bahwa wudhu merupakan
salah satu perbuatan orang mukallaf, yang termasuk salah satu syarat sahnya
sholat.
Dengan beberapa contoh di atas, dapat
diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu
ulama ushul fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum)
melainkan terhadap perbuatan”. Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian
besar ulama ushul, di antara mereka ada yang berargumen bahwa apabila dalam
syara’ tercakup hukum wajib ataupun sunnah, maka perintahnya pasti jelas, yakni
perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunnah tidak demikian,
tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.[1]
B. Syarat-syarat Mahkum Bih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa
syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya
dapat ditangkap dengan jelas dam dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf
tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu
persis, rukun, syarat dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam al-Qur’an, perintah shalat dinyatakan antara
lain dalam ayat: “Dirikanlah shalat!” perintah shalat dalam al-qur’an ternyata
masih global, maka rasulullah SAW menjelaskannya sekaligus memberikan contoh,
sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat”. Begitupula
perintah-perintah syara’ alinnya, seperti zakat, puasa dan sebagainya. Tuntutan
untuk melaksanaknnya dianggap tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun,
waktu dan sebagainya.
2. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui
bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga dia melaksanakannya berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Sebenarnya hal itu sama
dengan hukum yang berlaku dalam hal positif, yakni tidak ada keharusan untuk
mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara
lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaannya sesuai tuntutan syara’.
Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut
kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan
melaksanakannya.
Hal itu telah direalisasikan didunia islam. Ketika
seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya dan diperkirakan mampu mengetahui
hukum syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan
cara bertanya kepada para ulama, maka sudah bisa dinyatakan bahwa mengetahui
dan menanggung beban syari’at. Namun tidaklah diterima suatu halangan dengan
alasan karena kebodohan, sesuai dengan pendapat para fuqaha: “Tidaklah diterima
didunia islam, udzur (halangan) yang disebabkan oleh kebodohan”.
C. Macam-macam Mahkum Bih
Para ulama ushul fiqh membagi mahkum bih dari dua segi, yaitu dari
segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak yang
terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar