Senin, 16 Oktober 2017

Mahkum bih

A.    Pengertian Mahkum Bih
Menurut ulama’ Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan mahkum bih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’at, baik yang bersifat tuntutan mengerjakan maupun yang bersifat tuntutan meninggalkan. Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya:
1.      وَأقِيْـممُوا الصَّلاَةَ . . . ( البـقـرة : 43 )
“Dirikanlah sholat ...” (al-Baqarah : 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan sholat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan sholat.
2.      وَلاَ تَـقْتُلُوْا النَّفْسَ التي حَرَّم الله اِلاّ بِالحَقّ . . . ( الأنعام : 151)
“Janganlah kamu membunh jiwa yang telah diharamkan allah melainkan dengan seuatu (sebab) yang benar…” (al-An’am : 151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.
3.      اِذَا قُـمْتُـمْ اِلَي الصَّلوة فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُم وَاَيْـدِيْكُـمْ اِلَي الْمَرَافِقِ . . . ( المائدة : 6 )
“Apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku…”
Dalam ayat ini dapat diketahui, bahwa wudhu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf, yang termasuk salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu ulama ushul fiqh menetapkan kaidah “Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”. Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama ushul, di antara mereka ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hukum wajib ataupun sunnah, maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunnah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.[1]
B.     Syarat-syarat Mahkum Bih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
1.      Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dam dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya, sebelum dia tahu persis, rukun, syarat dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam al-Qur’an, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: “Dirikanlah shalat!” perintah shalat dalam al-qur’an ternyata masih global, maka rasulullah SAW menjelaskannya sekaligus memberikan contoh, sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat”. Begitupula perintah-perintah syara’ alinnya, seperti zakat, puasa dan sebagainya. Tuntutan untuk melaksanaknnya dianggap tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
2.      Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Seseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT, sehingga dia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Sebenarnya hal itu sama dengan hukum yang berlaku dalam hal positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaannya sesuai tuntutan syara’. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya.
Hal itu telah direalisasikan didunia islam. Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya dan diperkirakan mampu mengetahui hukum syara’, baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama, maka sudah bisa dinyatakan bahwa mengetahui dan menanggung beban syari’at. Namun tidaklah diterima suatu halangan dengan alasan karena kebodohan, sesuai dengan pendapat para fuqaha: “Tidaklah diterima didunia islam, udzur (halangan) yang disebabkan oleh kebodohan”.

C.    Macam-macam Mahkum Bih
Para ulama ushul fiqh membagi mahkum bih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaannya secara material dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.



[1] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Bandung : CV Pustaka setia, 2010) hlm.319 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar