I.
Pendahuluan
Al-Qur’an dan hadist nabi SAW adalah dasar landasan umat islam di
seluruh dunia. Namun, karena keduanya menggunakan bahasa arab, banyak kalangan
yang belum memahami kandungan-kandungan didalamnya. Begitupun kitab-kitab
klasik dan kontemporer juga banyak yang menggunakan bahasa Arab. Adapun untuk
memahami bahasa Arab hendaknya untuk mempelajari ilmu Nahwu dan ilmu Shorof,
agar supaya dapat memahaminya.
Dalam ilmu nahwu sendiri terdapat pembahasan-pembahasan seperti kalam,
pembagian kalimat, mubtada’ khobar dan lain sebagainya. Sehubungan
dengan adanya tugas Bahasa arab yang di ampu oleh Ibu Nur ‘aini MA.,
kami akan mengulas tentang pembahasan Fi’il dan Na’ibul fa’il.
Alhamdulillah wa syukru lillah, puji syukur kami panjatkan
kehadirat Allah ‘azza wa jalla yang telah memberikan kami rahmat serta
karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Fi’il
dan Na’ibul fa’il”. Makalah ini akan membahas tentang fi’il, pengertian fi’il,
pembagian fi’il dan contoh-contohnya. Makalah ini pula berisikan tentang
informasi mengenai na’ibul fa’il, pengertiannya dan contoh-contohnya.
Pepatah mengatakan “tak ada gading yag tak retak”, begitupula kami
menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
berharap bahwa Ibu dosen pengampu dan serta semua orang yang membaca makalah
ini untuk memberikan kritik dan saran yang dapat membangun dan memotivasi kami.
Sehingga kedepannya bisalebih baik lagi.
II.
Pembahasan
A.
Fi’il
1.
Definisi
Kalimah fi’il adalah kata yang menunjukkan arti pekerjan atau
peristiwa yang terjadi pada suatu masa atau waktu tertentu. Adapun fi’il itu
tiga macam, yaitu:
a.
Fi’il
madli ( فعل ماض ), adalah kata kerja
yang menunjukkan terjadinya suatu pekerjaan atau peristiwa pada masa lalu atau
waktu lampau. Seperti contoh:
فَعَل : Telah bekerja
قَالَ الشَّيْخُ :
as-Syaikh telah berkata
Adapun fi’il madli itu memiliki hukum
mabni, sedangkan tanda-tanda fi’il madli ( فعل ماض ) antara lain:
1) Bisa kemasukan ta’ ta’nits (ta’
sukun = تْ ) seperti: قَالتْ
2) Bisa kemasukan ta’ fa’il, yaitu ta’ (
ت ) yang menunjukkan pelaku. Adapun ta’ fa’il itu ada enam, yaitu:
a) Ta (تَ) yang menunjukkan mufrod
mudzakkar mukhotob (satu orang laki-laki yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتَ (kamu ‘laki-laki’ telah
membaca).
b) Ti (تِ) yang menunjukkan mufrod
mu’annats mukhotobah (satu orang perempuan yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتِ (kamu ‘perempuan’ telah membaca).
c) Tu (تُ) yang menunjukkan mutakallim
wahdah (satu orang yang berbicara), seperti: قَرَأْتُ (aku telah membaca).
d) Tuma (تُمَا) yang menunjukkan tasniyah
mudzakkar mukhotob atau tasniyah mu’annats mukhotobah (dua orang ‘laki-laki’
atau dua orang ‘perempuan’ di ajak bicara), seperti: قَرَأْتُمَا (kamu berdua ‘laki-laki / perempuan’ telah
membaca).
e) Tum (تُمْ) yang menunjukkan jamak
mudzakkar mukhotob (laki-laki banyak yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتُمْ (kalian ‘laki-laki’ telah membaca).
f) Tunna (تُنَّ) yang menunjukkan jamak
mu’annats mukhotobah (prempuan banyak yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتُنَّ (kalian ‘perempuan’ telah membaca).
3) Nun fa’il ( نَا ) yang menunjukkan mutakallim ma’al ghoir
atau mutakallim muta’adzim nafsah (orang yang berbicara lebih dari satu
atau satu orang yang berbicara yang mengagungkan dirinya sendiri), seperti: قَرَأْنَا (kita telah membaca atau saya telah membaca).
4) Kemasukan huruf qod ( قد ), adapun qod ( قد ) memiliki dua faedah, yaitu:
a) Qod tahqiq (تحقيف قد) yaitu bermakna
bersungguh-sungguh, seperti:
قَدْ طَلَعَت الشمس (matahari benar-benar telah terbit).
b) Qod taqrib (تقريب قد)
yaitu bermakna dekat, seperti:
قد قامت الصلاة (shalat hampir ditegakkan).
b. Fi’il mudlori’ (فعل
مضارع ), adalah kata kerja yang
menunjukkan terjadinya suatu pekerjaan atau peristiwa yang sedang terejadi atau
akan terjadi. Seperti contoh:
يَفْعُلُ :
Sedang bekerja / akan bekerja
يَقْرَأُ اْلقُرْآن :
Seseorang sedang membaca al-qur’an
Adapun tanda-tanda fi’il mudlori’ (فعل مضارع )
antara lain:
1) Diawali oleh huruf mudloro’ah (huruf-huruf
yang mengawali fi’il mudhori’). Sedangkan huruf mudhoro’ah itu ada empat,
yaitu:
a) Alif
( ا
) seperti:اَكْتُبُ (aku sedang menulis).
b) Nun ( ن ) seperti: نَكْتُبُ (kami sedang menulis).
c) Ta’ ( ت ) seperti: تَكْتُبُ (dia ‘perempuan’ sedang
menulis atau kamu ‘laki-laki’ sedang menulis).
d) Ya’ ( ي ) seperti: يَكْتُبُ (dia ‘laki-laki’ sedang
menulis).
2) Kemasukan huruf qod ( قد ), adapun qod ( قد ) memiliki dua faedah, yaitu:
a) Qod taqlil (تقليل قد)
yaitu bermakna sedikit atau jarang, seperti:
قد يجود البخيل (orang yang pelit terkadang
dermawan).
b) Qod taktsir (تكثير قد)
yaitu bermakna banyak atau sering,
قد يبخَلُ البخيل
(orang yang pelit sering berbuat bakhil).
3) Kemasukan sin tanfis ( س ) yang berfaidah istiqbal
qarib (waktu yang akan datang yang dekat atau sebentar lagi), seperti:
سيقول السفهآء (orang-orang bodoh akan
berkata).
4) Kemasukan saufa ( سوف ) yang berfaidah istiqbal
ba’id (waktu yang akan datang yang masih lama), seperti:
سوف تعلمون (kalian akan mengetahui).
Adapun
menurut ulama’ basroh antara sin tanfis dan saufa tidak ada perbedaan masa atau
waktu didalamnya. Sedangkan menurut ulama’ kufah adalah seperti yang tertera
diatas yakni sin tanfis menunjukkan masa yang sebentar, sedangkan saufa
menunjukkan masa yang lebih lama, karena banyaknya huruf menunjukkan banyaknya
makna.
c. Fi’il amar (فعل
أمر ), adalah kata kerja yang
menunjukkan perintah untuk melaksanakan pekerjaan. Seperti contoh:
اُفْعُلْ :
Bekerjalah
إقْرَؤُوا اْلقرآن :
Bacalah al-qur’an
Adapun fiil amar selamanya di jazemkan huruf
akhirnya. Tanda jazem fi’il amar adalah syakal huruf akhir sukun ( _ْ
), seperti: اُكْتُبْ
(tulislah). Fi’il amar selamanya harus di jazemkan huruf akhirnya itu
ketika fi’il madhinya bermabni shohih akhir, seperti ضرب , نصر
namun bila fi’il madhinya bermabni mu’tal akhir (huruf akhir
berupa huruf ‘illat), seperti رمي , دعي , نهي maka fi’il amarnya harus di buang huruf
‘illatnya, seperti:
رَمَي
menjadi اِرْمَ
دَعَي
menjadi اُدْعُ
نَهَي
menjadi اِنْهَ
Fi’il
amar dimabnikan sukun, atau membuang huruf ‘illat, atau membuang nun.
Kalau fi’il amar di sertai dengan dhomir tasniyah, seperti: اِرْمِيَانِ atau disertai dengan dhomir
jamak, seperti: , اِنْهَوْنَ
maka tanda jazemnya dengan membuang nun. Maka lafadz اِرْمِيَانِ menjadi اِرْمِيَا ,dan lafadz اِنْهَوْنَmenjadiاِنْهَوْا .
2. Pembagian
kalimah fi’il
Kalimah fi’il terbagi menjadi:
a. Fi’il berbangsa tiga huruf atau fi’il
tsulasiy ( فعل ثلاثي ):
1) Mujarrad (di sunyikan dari huruf tambahan),
seperti: ضرب , نصر
2) Mazid (di beri huruf tambahan, adakalanya satu
huruf, dua huruf dan tiga huruf), seperti: أَفْعَلَ ,
اِنْكَسَرَ , اِسْتَخْرَجَ
b.
F’il berbangsa empat huruf atau fi’il ruba’iy ( فعل رباعي ):
1) Mujarrad (di sunyikan dari huruf tambahan),
seperti: فعلل , دَحْرَجَ
2)
Mazid (di beri huruf tambahan), seperti:افْعَلَلَّ , افْعَنْلل
c. Ditinjau dari jenis hurufnya (bina’):
1) Fi’il shohih:
a) Fi’il salim (fi’il yang huruf-hurufnya -fa’
fi’il, ain fi’il, lam fi’il- bukan berupa huruf ‘ilat, bukan berupa hamzah
dan -ain fi’il, lam fi’il- bukan huruf kembar), seperti: عَلِمَ , فَتَحَ
b) Fi’il mahmuz (kalimah yang salah satu
huruf-hurufnya berupa hamzah), seperti: أَمَلَ , سَأَلَ ,
قَرَأَ
c) Fi’il mudho’af (kalimah yang -ain fi’il,
lam fi’il-nya terdiri dari huruf kembar), seperti: مَدَّ , فَرَّ
2) Fi’il mu’tal:
a) Fi’il mitsal(kalimah yang fa’ fi’ilnya
berupa huruf ‘ilat, apabila huruf ‘ilatnya berupa wawu maka dinamakan mitsal
wawi dan ketika berupa ya’ maka dinamakan mitsal ya’i), seperti: وَعَدَ , يَسَرَ
b) Fi’il ajwaf (kalimah yang ’ain fi’ilnya
berupa huruf ‘ilat, apabila huruf ‘ilatnya berupa wawu maka dinamakan ajwaf
wawi dan ketika berupa ya’ maka dinamakan ajwaf ya’i), seperti:قَالَ (قَوَلَ) , (سَيَرَ) سَارَ
c) Fi’il naqish(kalimah yang lam fi’ilnya
berupa huruf ‘ilat, apabila huruf ‘ilatnya berupa wawu maka dinamakan naqish
wawi dan ketika berupa ya’ maka dinamakan naqish ya’i(,
seperti: نَوَي , غَزَا
d) Fi’il lafif mafruq (kalimah yang fa’
fi’il dan lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat), seperti: وَقَي
e) Fi’il lafif maqrun (kalimah yang ‘ain
fi’il dan lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat), seperti: قَوِيَ
d. Ditinjau dari segi objeknya:
1) Fi’il lazim adalah fi’il yang hanya
memiliki fa’il atau pelaku, dan tidak memiliki maf’ul bih (objek korban /
penderita). Dalam bahasa indonesia disebut kata kerja intransitif. Contoh:
قَامَ : berdiri
جَلَسَ : duduk
2) Fi’il muta’addy adalah fi’il yang memiliki
fa’il (pelaku) dan harus di lengkapi dengan maf’ul bih (objek penderita). Dalam
bahasa idonesia disebut kata kerja transitif. Contoh:
أعْطَي : memberi
ضَرَبَ : memukul
e. Menurut bentuk aktif atau pasif:
1) Fi’il ma’lum adalah fi’il yang menyebutkan
fa’ilnya dalam susunan kalam, baik fa’ilnya berupa dzohir maupun dhomir.
Contoh:
فقد أَوْجَبَ الله النَّصِيْحَةَ
لِكِتَابِهِ
: sungguh allah telah mengijabahi nasihat pada kitab-Nya
2) Fi’il majhul adalah fi’il yang tidak
menyebutkan fa’ilnya dalam kalam, tetapi fa’ilnya dibuang karena ada tujuan
tertentu dan setelah fa’il di buang, maf’ul bih menggantikan kedudukan fa’il.
Contoh:
ضُرِبَ عَمْرٌو : ‘amar telah dipukul.
Adapun salah satu tujuan membuang fa’il antara lain:
a) Untuk meringkas kalam
b) Karena sudah diketahui fa’ilnya
c) Karena tidak diketahui fa’ilnya
Adapun cara membuat fi’il mabni majhul /
maf’ul adalah:
1) Untuk fi’il madhi maka menggunakan kaidah ضُم اوله وكُسِر ما قبل اخيره yakni huruf awal
dibaca dhommah dan huruf sebelum akhir dibaca kasroh. Seperti: نَصَرَ maka menjadi: نُصِرَ
2) Untuk fi’il mudhori’ menggunakan kaidah ضُم اوله وفُتِحَ ما قبل اخيره yakni huruf awal
dibaca dhomah dan huruf sebelum akhir dibaca fathah. Seperti: يَنْصُرُ maka menjadi:
يُنْصَرُ
B. Na’ibul
fa’il
1. Definisi
Na’ib
artinya pengganti, sedangkan fa’il artinya pelaku. Jadi na’ibul fa’il artinya
pengganti pelaku.
Yang
dimaksud naibul fa’il disini adalah isim yang dibaca rofa’ yang menempati
tempatnya fa’il setelah membuang fa’ilnya. Seperti contoh:
ضُرِبَ عَمْرٌو : ‘amar telah dipukul
ضُرِبَ :
fi’il madhi mabni majhul
عَمْرٌو : na’ibul fa’il
Contoh
diatas merupakan contoh na’ibul fail dan fi’il madhi mabni majhul, yang mana
kalam tersebut berasal dari contoh di bawah ini:
ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا : zaid telah memukul ‘amar
ضَرَبَ : fi’il madhi mabni ma’lum
زَيْد : fa’il (pelaku)
عَمْراً : maf’ul bih (korban)
Lafadz زَيْدٌ yang berkedudukan menjadi
fa’il dibuang, dan kedudukan lafdz tersebut digantikan oleh lafadz عَمْراً . Adapun pembuangan tersebut setelah merubah
fi’il mabni ma’lum ضَرَبَ menjadi mabni majhul ضُرِبَ.
Seperti yang telah tercantum diatas bahwa
na’ibul fa’il bisa tercipta setelah membuang fa’il. Kemudian na’ibul fa’il itu
ada yang berupa na’ibul isim dzohir dan na’ibul isim dhomir. Adapun contoh
na’ibul fa’il isim dzohir seperti yang telah disebutkan diatas, dan contoh
na’ibul fa’il isim dhomir seperti contoh: ضُرِبْتُ (saya telah dipukul).
2. Penggunaan
na’ibul fa’il
Adapun fi’il yang digunakan untuk membuat na’ibul fa’il itu bisa dari
fi’il lazim maupun fi’il muta’addi. Jika fi’ilnya adalah muta’addi maka langkah
membuat na’ibul fa’il adalah dengan meniadakan atau membuang fa’ilnya kemudian
menempatkan maf’ul bih pada posisinya fa’il yang dihilangkan, dan jangan lupa
fi’ilnya harus dirubah terlebih dahulu kedalam bentuk mabni majhul, seperti
contoh ضُرِبَ عَمْرٌو .
Jika fi’ilnya berupa fi’il lazim maka tinggal meniadakan fa’ilnya dan
mengubah fi’il kedalam bentuk majhul. Sedangkan yang menjadi na’ibul fa’il bisa
berupa dzorof atau jar majrur. Seperti contoh:
يُتَنَزَّحُ فِي الحَدِيْقَةِ : dikebun yang sedang dibersihkan
يَتَنَزَّحُ النَّاسُ في
الحَديقةِ : orang-orang sedang bersih-bersih
dikebun.
III.
Penutup
A. Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah disampaikan di
atas, bahwa kalimat fi’il secara garis besar memiliki dua pola bentuk atau
mabni, yaitu mabni ma’lum dan mabni majhul. Dan dari mabni majhul itulah yang
nantinya akan melahirkan suatu tarkib yang di beri nama na’ibul fa’il
(pengganti pelaku). Na’ibul fa’il sendiri berasal dari maf’ul bih yang
menggantikan kedudukan fa’il setelah fa’il tersebut di tiadakan. Dan
terbentuknya na’ibul fa’il bisa berasal dari fi’il muta’addi maupun fi’il
lazim.
B. Saran
Sebagai pelajar yang baru memulai belajar
nahwu dan shorof tentunya banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu
kami meminta saran dan motivasi yang dapat membangun serta dapat menambah ilmu
kami, supaya kedepannya kami dapat memahami ilmu nahwu dan shorof, serta dapat
membuat makalah yang lebih baik daripada yang saat ini.
C. Daftar
pustaka
Ø
Al-Ajurumiyah
Ø
Al-Amtsilah al-tasrifiyyah
Ø
Al-Imrithiy
Ø
Al-fiyyah ibnu Malik
Ø
Tasywiq al-kholan