Kamis, 19 Oktober 2017

Penulis Mushaf al-Qur'an


Didalam berbagai buku sejarah, Islam mencatat bahwa pasca wafatnya Nabi Muhammad Shallahu alaihi wasallam yang kemudian diganti dengan terpilihnya secara aklamasi Sahabat Abu Bakar menjadi khalifah pertama, muncul berbagai persoalan yang sangat mendasar di dalam tubuh agama Islam, yakni banyaknya orang yang murtad dengan kembali ke agama nenek moyang mereka, dan banyaknya orang yang membangkang tidak mau membayar zakat, dan yang paling mengenaskan adalah adanya Musaylamah sebagai tokoh yang mengaku sebagai nabi dengan menggubah surat al-fiil untuk menandingi al-Qur’an.
Namun persoalan-persoalan tersebut berhasil diselesaikan oleh sahabat Abu Bakar dengan cara memerangi para pembangkang tersebut dan berhasil mengembalikan mereka ke jalan Islam dalam waktu yang sangat singkat, mengingat sahabat Abu Bakar hanya menjadi Khalifah hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari dua tahun saja (632-634 M.).
Terkait dengan nabi palsu, konon pengikut Musaylamah mencapai 40.000 orang yang terdiri dari suku Thayyi, Asad, Thulayhah dan Banu Hanifah, sehingga Abu Bakar mengutus Khalid bin Walid untuk berangkat memerangi mereka tepatnya di Yamamah (kemudian masyhur dengan istilah perang Yamamah). Dalam peperangan inilah, teramat banyak para penghafal al-Qur’an yang berguguran syahid. Cerita yang lebih panjang bisa dibaca buku the History of The Arab karya Philip K. Hitti, h. 175-177.
Disebabkan peristiwa Yamamah tersebut, sahabat Umar merasa khawatir tentang kondisi dan nasib al-Qur’an di masa yang akan datang, sehingga ia mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an, sebelum pada akhirnya para sahabat yang hafal al-Qur’an berguguran di medan perang yang lain.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Zaid bin Tsabit (w. 45 H.) mengatakan: “Saya diutus oleh Abu Bakar untuk ikut memerangi penduduk Yamamah, lalu tiba-tiba Umar datang dan berkata ‘Sungguh, perang Yamamah begitu berat bagi para penghafal al-Qur’an, saya khawatir nanti korban berjatuhan hingga menyebabkan al-Qur’an hilang dengan wafatnya para penghafal al-Qur’an, saya punya inisiatif agar engkau berkenan mengumpulkan al-Qur’an.’
“Bagaimana saya bisa melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah?.” Jawab Abu Bakar merasa keberatan.
“Demi Allah, ini adalah suatu keniscayaan yang baik.” Umar mencoba meyakinkan Abu Bakar.
“Berkali-kali Umar mencoba meyakinkan hal itu, lalu allah telah melapangkan dadaku dengan menerima inisiatif Umar untuk mengumpulkan al-Qur’an.” Jelas Abu Bakar.
Abu Bakar menyampaikan hal itu kepada Zaid dengan mengatakan “Sungguh engkau adalah lelaki yang luar biasa, sebab engkau pernah menulis al-Qur’an untuk baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
(HR. Bukhari. Bab kitabu fadhaili al-Qur’an).
Sang Penulis Mushaf Zaid bin Tsabit
Sahabat Zaid bin Tsabit terkenal dengan kepiawaiannya dalam hal menulis sehingga di masa Abu Bakar dan Usman kelak, ia tetap ditugaskan untuk menulis mushaf. Di antara kecakapannya dalam hal ini adalah ia merupakan seorang yang hafal al-Qur’an, ia juga masih muda yang prigel, hafalannya sangat kuat, logikanya dan kekreatifitasnya berjalan, tenang dan tidak suka tergesa-gesa sekaligus banyak kerjanya. Semua sifat-sifat tersebut dimiliki oleh pribadi seorang Zaid bin Tsabit.
Karena kecakapannya tersebut, ia membuat metode dalam pengumpulan mushaf dengan memberikan syarat sebuah ayat al-Qur’an harus disaksikan minimal dua orang sahabat, sekaligus tidak hanya mengandalkan hafalan para sahabat saja, melainkan terdapat bukti tertulis yang ditulis di masa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Ketika dua syarat tersebut tidak terpenuhi maka ia tidak akan menulis dan memasukkan ayat tersebut ke dalam bagian dari al-Qur’an.
Sehingga pada ujungnya, ia menemukan ayat terakhir surat at-taubah. Kedua ayat tersebut hanya disaksikan oleh Abu Khuzaimah al-Anshari seorang, tidak ada sahabat lain yang memberikan kesaksian. Dua ayat tersebut tak kunjung dimasukkan oleh Zaid ke dalam mushaf. Sampai pada akhirnya, terdapat dua sahabat lagi yang datang memberikan kesaksian, yakni Abdullah bin Zubair dan Umar bin Khattab.
Pengumpulan mushaf ini tidak memakan waktu lama, yakni sekitar satu tahun saja di era khalifah Abu Bakar, kira-kira di akhir tahun 11 Hijriyah atau awal tahun 12 Hijriyah, pengumpulan mushaf ini selesai dilaksanakan. Pada bulan Jumadil akhir tahun 13 Hijriyah, sahabat Abu Bakar wafat, kumpulan mushaf tersebut kemudian pindah tangan ke pangkuan Sahabat Umar bin Khattab, lalu sayyidatina Khafsah, istri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari mushaf yang dibawa oleh Khafsah itulah yang kelak dijadikan sumber primer oleh Usman dalam menggandakan mushaf al-Qur’an.

Senin, 16 Oktober 2017

Fi'il dan Na'ibul Fa'il

I.                   Pendahuluan

Al-Qur’an dan hadist nabi SAW adalah dasar landasan umat islam di seluruh dunia. Namun, karena keduanya menggunakan bahasa arab, banyak kalangan yang belum memahami kandungan-kandungan didalamnya. Begitupun kitab-kitab klasik dan kontemporer juga banyak yang menggunakan bahasa Arab. Adapun untuk memahami bahasa Arab hendaknya untuk mempelajari ilmu Nahwu dan ilmu Shorof, agar supaya dapat memahaminya.
Dalam ilmu nahwu sendiri terdapat pembahasan-pembahasan seperti kalam, pembagian kalimat, mubtada’ khobar dan lain sebagainya. Sehubungan dengan adanya tugas Bahasa arab yang di ampu oleh Ibu Nur ‘aini MA., kami akan mengulas tentang pembahasan Fi’il dan Na’ibul fa’il.
Alhamdulillah wa syukru lillah, puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah ‘azza wa jalla yang telah memberikan kami rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “Fi’il dan Na’ibul fa’il”. Makalah ini akan membahas tentang fi’il, pengertian fi’il, pembagian fi’il dan contoh-contohnya. Makalah ini pula berisikan tentang informasi mengenai na’ibul fa’il, pengertiannya dan contoh-contohnya.
Pepatah mengatakan “tak ada gading yag tak retak”, begitupula kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami berharap bahwa Ibu dosen pengampu dan serta semua orang yang membaca makalah ini untuk memberikan kritik dan saran yang dapat membangun dan memotivasi kami. Sehingga kedepannya bisalebih baik lagi.




II.                Pembahasan

A.    Fi’il
1.      Definisi
Kalimah fi’il adalah kata yang menunjukkan arti pekerjan atau peristiwa yang terjadi pada suatu masa atau waktu tertentu. Adapun fi’il itu tiga macam, yaitu:
a.       Fi’il madli ( فعل ماض ), adalah kata kerja yang menunjukkan terjadinya suatu pekerjaan atau peristiwa pada masa lalu atau waktu lampau. Seperti contoh:
فَعَل                    : Telah bekerja
قَالَ الشَّيْخُ            : as-Syaikh telah berkata
Adapun fi’il madli itu memiliki hukum mabni, sedangkan   tanda-tanda fi’il madli ( فعل ماض ) antara lain:
1)      Bisa kemasukan ta’ ta’nits (ta’ sukun = تْ ) seperti: قَالتْ
2)      Bisa kemasukan ta’ fa’il, yaitu ta’ ( ت ) yang menunjukkan pelaku. Adapun  ta’ fa’il itu ada enam, yaitu:
a)      Ta (تَ) yang menunjukkan mufrod mudzakkar mukhotob (satu orang laki-laki yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتَ (kamu ‘laki-laki’ telah membaca).
b)      Ti (تِ) yang menunjukkan mufrod mu’annats mukhotobah (satu orang perempuan yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتِ   (kamu ‘perempuan’ telah membaca).
c)      Tu (تُ) yang menunjukkan mutakallim wahdah (satu orang yang berbicara), seperti: قَرَأْتُ   (aku telah membaca).
d)     Tuma (تُمَا) yang menunjukkan tasniyah mudzakkar mukhotob atau tasniyah mu’annats mukhotobah (dua orang ‘laki-laki’ atau dua orang ‘perempuan’ di ajak bicara), seperti: قَرَأْتُمَا   (kamu berdua ‘laki-laki / perempuan’ telah membaca).
e)      Tum (تُمْ) yang menunjukkan jamak mudzakkar mukhotob (laki-laki banyak yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتُمْ   (kalian ‘laki-laki’ telah membaca).
f)       Tunna (تُنَّ) yang menunjukkan jamak mu’annats mukhotobah (prempuan banyak yang di ajak bicara), seperti: قَرَأْتُنَّ   (kalian ‘perempuan’ telah membaca).
3)      Nun fa’il ( نَا  ) yang menunjukkan mutakallim ma’al ghoir atau mutakallim muta’adzim nafsah (orang yang berbicara lebih dari satu atau satu orang yang berbicara yang mengagungkan dirinya sendiri), seperti: قَرَأْنَا   (kita telah membaca atau saya telah membaca).
4)      Kemasukan huruf qod ( قد ), adapun qod ( قد ) memiliki dua faedah, yaitu:
a)      Qod tahqiq (تحقيف  قد) yaitu bermakna bersungguh-sungguh, seperti:
قَدْ طَلَعَت الشمس  (matahari benar-benar telah terbit).
b)      Qod taqrib (تقريب  قد) yaitu bermakna dekat, seperti:
قد قامت الصلاة (shalat hampir ditegakkan).


b.      Fi’il mudlori’ (فعل مضارع  ), adalah kata kerja yang menunjukkan terjadinya suatu pekerjaan atau peristiwa yang sedang terejadi atau akan terjadi. Seperti contoh:
يَفْعُلُ                   : Sedang bekerja / akan bekerja
يَقْرَأُ اْلقُرْآن           : Seseorang sedang membaca al-qur’an
Adapun tanda-tanda fi’il mudlori’ (فعل مضارع  ) antara lain:
1)      Diawali oleh huruf mudloro’ah (huruf-huruf yang mengawali fi’il mudhori’). Sedangkan huruf mudhoro’ah itu ada empat, yaitu:
a)      Alif  ( ا ) seperti:اَكْتُبُ  (aku sedang menulis).
b)      Nun ( ن ) seperti: نَكْتُبُ (kami sedang menulis).
c)      Ta’ ( ت ) seperti: تَكْتُبُ (dia ‘perempuan’ sedang menulis atau kamu ‘laki-laki’ sedang menulis).
d)     Ya’ ( ي ) seperti: يَكْتُبُ (dia ‘laki-laki’ sedang menulis).
2)      Kemasukan huruf qod ( قد ), adapun qod ( قد ) memiliki dua faedah, yaitu:
a)      Qod taqlil (تقليل  قد) yaitu bermakna sedikit atau jarang, seperti:
قد يجود البخيل (orang yang pelit terkadang dermawan).
b)      Qod taktsir (تكثير  قد) yaitu bermakna banyak atau sering,
قد يبخَلُ البخيل (orang yang pelit sering berbuat bakhil).
3)      Kemasukan sin tanfis ( س ) yang berfaidah istiqbal qarib (waktu yang akan datang yang dekat atau sebentar lagi), seperti:
سيقول السفهآء (orang-orang bodoh akan berkata).
4)      Kemasukan saufa ( سوف ) yang berfaidah istiqbal ba’id (waktu yang akan datang yang masih lama), seperti:
سوف تعلمون (kalian akan mengetahui).
Adapun menurut ulama’ basroh antara sin tanfis dan saufa tidak ada perbedaan masa atau waktu didalamnya. Sedangkan menurut ulama’ kufah adalah seperti yang tertera diatas yakni sin tanfis menunjukkan masa yang sebentar, sedangkan saufa menunjukkan masa yang lebih lama, karena banyaknya huruf menunjukkan banyaknya makna.

c.       Fi’il amar (فعل أمر  ), adalah kata kerja yang menunjukkan perintah untuk melaksanakan pekerjaan. Seperti contoh:
اُفْعُلْ                   : Bekerjalah
إقْرَؤُوا اْلقرآن        : Bacalah al-qur’an
            Adapun fiil amar selamanya di jazemkan huruf akhirnya. Tanda jazem fi’il amar adalah syakal huruf akhir sukun ( ), seperti: اُكْتُبْ (tulislah). Fi’il amar selamanya harus di jazemkan huruf akhirnya itu ketika fi’il madhinya bermabni shohih akhir, seperti ضرب , نصر  namun bila fi’il madhinya bermabni mu’tal akhir (huruf akhir berupa huruf ‘illat), seperti رمي , دعي , نهي  maka fi’il amarnya harus di buang huruf ‘illatnya, seperti:
رَمَي menjadi اِرْمَ
دَعَي menjadi اُدْعُ
نَهَي menjadi اِنْهَ
            Fi’il amar dimabnikan sukun, atau membuang huruf ‘illat, atau membuang nun. Kalau fi’il amar di sertai dengan dhomir tasniyah, seperti: اِرْمِيَانِ atau disertai dengan dhomir jamak, seperti: , اِنْهَوْنَ maka tanda jazemnya dengan membuang nun. Maka lafadz اِرْمِيَانِ menjadi اِرْمِيَا ,dan lafadz  اِنْهَوْنَmenjadiاِنْهَوْا .

2.      Pembagian kalimah fi’il
Kalimah fi’il terbagi menjadi:
a.       Fi’il berbangsa tiga huruf atau fi’il tsulasiy ( فعل ثلاثي ):
1)      Mujarrad (di sunyikan dari huruf tambahan), seperti: ضرب , نصر
2)      Mazid (di beri huruf tambahan, adakalanya satu huruf, dua huruf dan tiga huruf), seperti: أَفْعَلَ , اِنْكَسَرَ , اِسْتَخْرَجَ
b.      F’il berbangsa empat huruf atau fi’il ruba’iyفعل رباعي ):
1)      Mujarrad (di sunyikan dari huruf tambahan), seperti: فعلل , دَحْرَجَ
2)      Mazid (di beri huruf tambahan), seperti:افْعَلَلَّ , افْعَنْلل
c.       Ditinjau dari jenis hurufnya (bina’):
1)      Fi’il shohih:
a)      Fi’il salim (fi’il yang huruf-hurufnya -fa’ fi’il, ain fi’il, lam fi’il- bukan berupa huruf ‘ilat, bukan berupa hamzah dan -ain fi’il, lam fi’il- bukan huruf kembar), seperti: عَلِمَ , فَتَحَ
b)      Fi’il mahmuz (kalimah yang salah satu huruf-hurufnya berupa hamzah), seperti: أَمَلَ , سَأَلَ , قَرَأَ
c)      Fi’il mudho’af (kalimah yang -ain fi’il, lam fi’il-nya terdiri dari huruf kembar), seperti: مَدَّ , فَرَّ
2)      Fi’il mu’tal:
a)      Fi’il mitsal(kalimah yang fa’ fi’ilnya berupa huruf ‘ilat, apabila huruf ‘ilatnya berupa wawu maka dinamakan mitsal wawi dan ketika berupa ya’ maka dinamakan mitsal ya’i), seperti: وَعَدَ , يَسَرَ
b)      Fi’il ajwaf (kalimah yang ’ain fi’ilnya berupa huruf ‘ilat, apabila huruf ‘ilatnya berupa wawu maka dinamakan ajwaf wawi dan ketika berupa ya’ maka dinamakan ajwaf ya’i), seperti:قَالَ (قَوَلَ) , (سَيَرَ) سَارَ 
c)      Fi’il naqish(kalimah yang lam fi’ilnya berupa huruf ‘ilat, apabila huruf ‘ilatnya berupa wawu maka dinamakan naqish wawi dan ketika berupa ya’ maka dinamakan naqish ya’i(, seperti: نَوَي , غَزَا
d)     Fi’il lafif mafruq (kalimah yang fa’ fi’il dan lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat), seperti: وَقَي
e)      Fi’il lafif maqrun (kalimah yang ‘ain fi’il dan lam fi’ilnya berupa huruf ‘illat), seperti: قَوِيَ
d.      Ditinjau dari segi objeknya:
1)      Fi’il lazim adalah fi’il yang hanya memiliki fa’il atau pelaku, dan tidak memiliki maf’ul bih (objek korban / penderita). Dalam bahasa indonesia disebut kata kerja intransitif. Contoh:
قَامَ               : berdiri
جَلَسَ            : duduk
2)      Fi’il muta’addy adalah fi’il yang memiliki fa’il (pelaku) dan harus di lengkapi dengan maf’ul bih (objek penderita). Dalam bahasa idonesia disebut kata kerja transitif. Contoh:
أعْطَي           : memberi
ضَرَبَ          : memukul

e.       Menurut bentuk aktif atau pasif:
1)      Fi’il ma’lum adalah fi’il yang menyebutkan fa’ilnya dalam susunan kalam, baik fa’ilnya berupa dzohir maupun dhomir. Contoh:
فقد أَوْجَبَ الله النَّصِيْحَةَ لِكِتَابِهِ : sungguh allah telah mengijabahi nasihat pada kitab-Nya
2)      Fi’il majhul adalah fi’il yang tidak menyebutkan fa’ilnya dalam kalam, tetapi fa’ilnya dibuang karena ada tujuan tertentu dan setelah fa’il di buang, maf’ul bih menggantikan kedudukan fa’il. Contoh:
ضُرِبَ عَمْرٌو        : ‘amar telah dipukul.
Adapun salah satu tujuan membuang fa’il antara lain:
a)      Untuk meringkas kalam
b)      Karena sudah diketahui fa’ilnya
c)      Karena tidak diketahui fa’ilnya
Adapun cara membuat fi’il mabni majhul / maf’ul adalah:
1)      Untuk fi’il madhi maka menggunakan kaidah ضُم اوله وكُسِر ما قبل اخيره yakni huruf awal dibaca dhommah dan huruf sebelum akhir dibaca kasroh. Seperti: نَصَرَ maka menjadi: نُصِرَ
2)      Untuk fi’il mudhori’ menggunakan kaidah ضُم اوله وفُتِحَ ما قبل اخيره yakni huruf awal dibaca dhomah dan huruf sebelum akhir dibaca fathah. Seperti: يَنْصُرُ  maka menjadi:  يُنْصَرُ

B.     Na’ibul fa’il
1.      Definisi
Na’ib artinya pengganti, sedangkan fa’il artinya pelaku. Jadi na’ibul fa’il artinya pengganti pelaku.
Yang dimaksud naibul fa’il disini adalah isim yang dibaca rofa’ yang menempati tempatnya fa’il setelah membuang fa’ilnya. Seperti contoh:
ضُرِبَ عَمْرٌو        : ‘amar telah dipukul
ضُرِبَ                : fi’il madhi mabni majhul
عَمْرٌو                 : na’ibul fa’il
                        Contoh diatas merupakan contoh na’ibul fail dan fi’il madhi mabni majhul, yang mana kalam tersebut berasal dari contoh di bawah ini:
ضَرَبَ زَيْدٌ عَمْرًا   : zaid telah memukul ‘amar
ضَرَبَ    : fi’il madhi mabni ma’lum
زَيْد        : fa’il (pelaku)
عَمْراً      : maf’ul bih (korban)
Lafadz زَيْدٌ yang berkedudukan menjadi fa’il dibuang, dan kedudukan lafdz tersebut digantikan oleh lafadz  عَمْراً . Adapun pembuangan tersebut setelah merubah fi’il mabni ma’lum ضَرَبَ  menjadi mabni majhul ضُرِبَ.
Seperti yang telah tercantum diatas bahwa na’ibul fa’il bisa tercipta setelah membuang fa’il. Kemudian na’ibul fa’il itu ada yang berupa na’ibul isim dzohir dan na’ibul isim dhomir. Adapun contoh na’ibul fa’il isim dzohir seperti yang telah disebutkan diatas, dan contoh na’ibul fa’il isim dhomir seperti contoh: ضُرِبْتُ (saya telah dipukul).

2.      Penggunaan na’ibul fa’il
Adapun fi’il yang digunakan untuk membuat na’ibul fa’il itu bisa dari fi’il lazim maupun fi’il muta’addi. Jika fi’ilnya adalah muta’addi maka langkah membuat na’ibul fa’il adalah dengan meniadakan atau membuang fa’ilnya kemudian menempatkan maf’ul bih pada posisinya fa’il yang dihilangkan, dan jangan lupa fi’ilnya harus dirubah terlebih dahulu kedalam bentuk mabni majhul, seperti contoh  ضُرِبَ عَمْرٌو .
Jika fi’ilnya berupa fi’il lazim maka tinggal meniadakan fa’ilnya dan mengubah fi’il kedalam bentuk majhul. Sedangkan yang menjadi na’ibul fa’il bisa berupa dzorof atau jar majrur. Seperti contoh:
يُتَنَزَّحُ فِي الحَدِيْقَةِ               : dikebun yang sedang dibersihkan
يَتَنَزَّحُ النَّاسُ في الحَديقةِ        : orang-orang sedang bersih-bersih dikebun.






III.             Penutup
A.    Kesimpulan
Dari penjelasan yang telah disampaikan di atas, bahwa kalimat fi’il secara garis besar memiliki dua pola bentuk atau mabni, yaitu mabni ma’lum dan mabni majhul. Dan dari mabni majhul itulah yang nantinya akan melahirkan suatu tarkib yang di beri nama na’ibul fa’il (pengganti pelaku). Na’ibul fa’il sendiri berasal dari maf’ul bih yang menggantikan kedudukan fa’il setelah fa’il tersebut di tiadakan. Dan terbentuknya na’ibul fa’il bisa berasal dari fi’il muta’addi maupun fi’il lazim.

B.     Saran
Sebagai pelajar yang baru memulai belajar nahwu dan shorof tentunya banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami meminta saran dan motivasi yang dapat membangun serta dapat menambah ilmu kami, supaya kedepannya kami dapat memahami ilmu nahwu dan shorof, serta dapat membuat makalah yang lebih baik daripada yang saat ini.

C.    Daftar pustaka
Ø  Al-Ajurumiyah
Ø  Al-Amtsilah al-tasrifiyyah
Ø  Al-Imrithiy
Ø  Al-fiyyah ibnu Malik

Ø  Tasywiq al-kholan